Apa Kabar Setelah Hari Buku 

hari buku nasional foto perpustakaan kantor agromedia
Suasana perpustakaan di kantor Kelompok Penerbit Agromedia. | Foto: Sardo Michael

 

Peringatan Hari Buku Nasional ke-40 yang jatuh pada 17 Mei lalu sempat menjadi trending topic  di Twitter. Di akun resmi media sosial Presiden Jokowi mengunggah ucapan selamat Hari Buku Nasional. Selain itu, Jokowi pun bertanya buku apa saja yang Anda baca selama masa pandemi ini. Serta ajakan untuk membaca buku fisik maupun buku digital (e-book). Netizen pecinta buku tampak menyambut ramai.

Pekerja perbukuan turut gembira menanggapi keramaian virtual di Hari Buku itu. Seiring hal ini, bagi para pekerja perbukuan berharap isu buku bukan sekadar gimmick pemerintah dalam menyambut Hari Buku Nasional. Juga tidak berharap sekadar perayaan sesaat literasi secara virtual di media sosial, tanpa tindakan nyata dari pemerintah, mengingat kondisi buruk perbukuan nasional.

Di tengah pandemi ini yang ditunggu adalah langkah nyata pemerintah memberikan perhatian khusus berupa insentif untuk pekerja perbukuan yang terwakili oleh penerbit, penulis, percetakan, distributor buku, dan toko buku. Intinya jika ekosistem perbukuan nasional ini ingin “hidup” dan berlanjut, negara wajib mendukungnya. 

Banyak penerbit terancam gulung tikar. Penerbit besar pun kewalahan untuk bertahan jika masa pandemi jika tidak segera usai. Sejak pertengahan Maret hingga Mei ini, pekerja perbukuan sudah mengabarkan kondisi merosotnya omzet secara drastis. 

Buku-buku di gudang-gudang penerbit dan di toko buku menumpuk beberapa bulan ini. Dampak dari pembatasan sosial dan wilayah, toko buku fisik yang tutup, sementara area penjualan online jauh dari optimal. Hal ini tentu menjadi persoalan besar di semua usaha penerbitan buku. Sementara itu percetakan juga terdampak karena banyak penerbit yang memutuskan menghentikan cetak buku.

Kembali ke dalam isu Hari Buku yang dari tahun ke tahun tetaplah sama. Tentang rendahnya tingkat literasi pembaca buku di Indonesia. Dilansir tirto.id, tahun 2011 yang mengutip hasil riset UNESCO, dari 1000 orang hanya satu orang yang berminat pada buku. Sementara dalam riset Most Literate Nations pada 2016, Indonesia ditempatkan dalam peringkat dua terbawah dari total 61 negara yang diteliti. 

Menurut Hikmat Kurnia, Ketua IKAPI Jakarta, dalam statusnya di Facebook, kurangnya budaya membaca nampak terlihat saat pengambil kebijakan dan masyarakat sama-sama gagap menghadapi Covid-19. “Kita kurang punya dasar pengetahuan yang memadai. Berbagai tindakan yang diambil oleh pengambil kebijakan pun seringkali kurang berdasar ilmu pengetahuan, kurang berdasarkan hasil riset yang teruji. Masyarakat pun banyak yang kurang punya pengetahuan dan kesadaran yang memadai. Akibatnya, kita dihadapkan pada ketidakpastian dan ketidakjelasan,” tulisnya. 

Sembari menunggu kabar ketidakpastikan dan ketidakjelasan di masa pandemi ini, para pekerja perbukuan terus bergerak berpromosi jalur online di media sosial lewat hastag #diRumahAjaDulu baca buku. Namun, sekali lagi tanpa keterlibatan dan dukungan negara pemulihan ekosistem dunia perbukuan akan sulit tercapai.

Dalam pandemi ini, semua lini kategori bisnis memang perlu dibantu, khususnya bisnis perbukuan yang mengalami kondisi buruk. Tepat di Hari Kebangkitan Nasional ini, jika generasi muda ini ingin tumbuh dan bangkit, asupan gizi untuk daya baca dan literasi tidak boleh terlewatkan oleh negara. Maka melalui industri kreatif dari para pekerja perbukuan, sudah semestinya negara turut campur tangan mendukung dan membangkitkan minat baca dan daya beli perbukuan nasional. 

Post Author: adgroup

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *