Sebelum Mengenalkan Literasi Digital pada Anak, Orangtua & Guru Perlu Tahu Ini

Ilustrasi literasi digital | Foto: unsplash.com

Orang tua perlu berpikir ulang ketika akan membekali anak-anak usia sekolah dasar dengan smartphone. Banyak orang tua yang memasrahkan anak-anak dengan handphone sepanjang hari. Alasan yang paling sering terdengar, agar mereka tidak ketinggalan zaman dan tetap bisa bermain game. Sementara alasan lainnya orang tua pun bisa ikut tenang bekerja dan mengurusi urusan rumah tangga.

Jika alasannya takut ketinggalan teknologi, sepertinya kita perlu menengok para CEO di perusahaan teknologi, seperti Google, Apple, dan Hewlett Packard dalam mendidik anak. Mereka memilih mendidik anak-anak dengan menjauhkan dari teknologi di usia dini. Anak-anak didekatkan dengan dunia bermain secara fisik dan didekatkan dengan alam. Nampaknya mereka lebih percaya bahwa pengenalan teknologi digital kepada anak-anak tidak perlu terburu-buru.

Lalu bagaimana jika tangan dan mata anak-anak terlanjur “lengket” dengan gadget? Maka inilah saatnya orang tua perlu sering-sering menyisipkan pengetahuan dan coba memberikan pemahaman anak seputar literasi digital. Kondisi ini tentu saja tidak boleh membuat lalai orang tua. Jadi mendampingi anak-anak dengan literasi digital menjadi hal yang mendesak dan tidak boleh terlambat. 

Literasi digital bukan sekadar mengetahui cara-cara menggunakan smartphone/laptop, bermain Tiktok, Twitter, atau media sosial lainnya. Ada beberapa rambu yang perlu diketahui orang tua sebelum mengenalkan literasi digital untuk anak-anak.

Walaupun nampak kompleks, tentu perlu pengenalan dengan cara-cara yang sederhana. Literasi digital untuk anak memang tidak mudah, karena perlu kolaborasi dengan sekolah dan pemerintah. Di lingkungan rumah, orang tua perlu aktif menjemput bola untuk memahami terlebih dahulu batasan aman berada di dunia digital.

Bagaimana cara menyampaikan pada anak-anak? Coba lakukan saat mereka sedang luring, seperti berada di meja makan, kelas offline, maupun saat mengobrol santai dengan keluarga. Sebaiknya hindari menyisipkan pesan-pesan ketika mereka sedang sibuk bermain handphone/laptop. Kemungkinan besar pesan orang tua tidak akan mengena atau didengar oleh anak.

Sekali lagi literasi digital bukan sekadar cara-cara menggunakan smartphone atau komputer. Di sana ada wilayah yang cukup luas, terkait sikap dan dampaknya. Semisal cara pengenalan informasi yang valid dari media online dan cara berselancar di internet dengan aman.

Tujuan utama dari pengenalan dan praktik literasi digital, memastikan anak-anak bisa merasa aman dan tetap berdaya saat mereka masuk dunia digital. Pasalnya seperti kita ketahui, dunia digital banyak hal berdampak negatif. Saluran internet dan media sosial ketika tidak dimanfaatkan untuk pendidikan dan hal positif lainnya, maka akan berbahaya bagi anak-anak.

Literasi digital bukan sekadar mengajarkan how to know penggunaan media sosial untuk selfie atau meng-update status. Acuan konten apa yang mereka bisa bagikan dan apa yang tidak boleh mereka bagikan perlu disampaikan oleh orang tua. Ada hal yang bisa berdampak bahaya bagi anak-anak, ketika mereka tidak memahami hal ini.

Empat Hal Penting Tentang Digital Literasi

Dunia digital memang bisa membuat semua orang menjadi setara dan bisa bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya. Namun, di setiap negara memiliki payung hukum untuk melindungi warganya dari era kebebasan digital. Di Indonesia, memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Nah, ini dia empat hal penting yang bisa diketahui orang tua.

Internet Sehat

Foto: unsplash.com

Setidaknya ada tujuh hal umum yang biasa kita lakukan di internet, seperti browsing, ber-email, chatting, ber-media sosial, upload, dan download, dan aktivitas jual-beli online. Ketujuh aktivitas ini perlu dibatasi rambu etika dalam masyarakat maupun payung hukum sesuai negaranya. Ketika aktivitas ini dilanggar dengan aktivitas hacking (negatif), intimidasi cyber, pelanggaran hak cipta (plagiat).

Sebuah contoh sering kali kita melihat, seperti kabar di Facebook atau Whatsapp, foto profil di media sosial dimanfaatkan orang-orang tak bertanggung jawab untuk berupaya menipu. Tujuannya mendapatkan keuntungan secara ilegal, seperti meminta pulsa dan uang untuk ditransfer ke rekening mereka.

Internet Safety atau internet sehat merupakan kemampuan melindungi diri dan orang lain di ruang internet agar pengguna lebih nyaman dan merasa aman. Salah satu bahaya saat mengakses internet adalah peretasan akun, data pribadi, dan pencurian hak cipta, dan lain sebagainya.

Beberapa hal untuk melindungi diri saat mengakses informasi di internet maupun media sosial adalah dengan melindungi gadget/komputer dengan antivirus, logout email/akun media sosial jika menggunakan laptop setelah selesai menggunakan, rutin mengganti password, menggunakan password yang variatif, dan menggunakan keamanan ganda. 

Hal lain yang penting diperhatikan adalah penggunaan wifi gratis di ruang publik. Pertimbangkan risikonya, sebab pengambilan data pribadi, seperti email dan nomor handphone akan disimpan oleh penyedia wifi gratis. Nah, jika terpaksa menggunakan wifi publik, pastikan ketika konek menggunakan username dan password, abaikan wifi publik tanpa password, dan sebaiknya tidak bertransaksi online. Setelah selesai, segera hapus cookies dan cache browser, serta jangan lupa klik hapus “lupakan jaringan.” 

Pengetahuan internet sehat melindungi penguna, orang lain, dan konten kita aman bagi semua. Harapannya, keterampilan menyeleksi sebuah informasi, apakah itu disinformasi dan hoax menjadi bagian dari kesadaran diri ketika kita ingin berbagi. Ajarkan anak-anak untuk menahan diri saat ada informasi/meme yang meragukan dan membiasakan anak-anak bertanya ke orang tua agar mereka bisa recheck kebenaran informasinya.

Jejak Digital

Foto: unsplash.com

Semua jenis data digital di media sosial, lebih luas di internet bisa dilacak keberada jejaknya. Inilah yang disebut dengan digital footprint, datanya yang cenderung tidak bisa dihapus. Data digital yang dimaksud bisa berupa postingan, teks, gambar, video, meme, pdf, audio, dan sebagai.

Sebuah contoh saat seseorang mem-posting sesuatu di platform media sosial. Kemungkinan seseorang sudah men-screen shoot di layar handphone mereka, walaupun Anda sudah menghapusnya. Hal ini bisa menjadi bukti kuat ketika postingan tersebut bermasalah di sisi hukum. Maka ketika akan melakukan posting atau update perlu direncanakan dan dipikirkan terlebih dahulu, dan yang penting memikirkan dampaknya.

Sementara jejak digital lain ada fitur cookies di setiap peramban/browser dan website. Saat kita searching, berselancar dan mengunjungi website, cookies akan merekam data profil dan aktivitas kita. Salah satunya fungsi cookies juga untuk merekam trafik pengunjung dan melakukan aktivitas personal. Adanya cookies ini, pengguna internet perlu secara berkala mengatur dan menghapus cookies pada settingan browser. Tujuannya agar aktivitas saat berselancar di internet relatif aman.

Idealnya jejak digital yang baik, memberikan pengalaman aman dan positif bagi penggunanya. Maka meninggalkan jejak digital saat beraktivitas di dunia maya dengan aneka konten bermanfaat dan prestasi-prestasi yang menginspirasi banyak orang.

BACA JUGA: Islam dan Literasi

Cyberbullying

Cyberbullying atau perundungan di ranah digital jamak terjadi di media sosial, platform chatting, dan game online. Tentu saja hal ini bukanlah hal lumrah dan tidak layak kita dibiarkan terjadi. Cyberbullying perlu dicegah dan dihindari. Sama halnya pencegahan bullying yang terjadi di sekolah atau masyarakat secara fisik.

Di situs Unicef mencatat, tujuan Cyberbullying, dari membuat sasaran tidak nyaman, marah, korban takut, dan malu. Aktivitas bullying online, menyebabkan korban terdampak secara psikologis, sosial, dan bisa menurunkan prestasi di sekolah.Secara psikologis, korban bullying bisa stress, depresi, hingga bisa menarik diri di lingkungan. Baik orang tua maupun guru perlu mengenali aksi cyberbullying serta bagaimana menyampaikan secara inten kepada peserta didik, termasuk bagaimana melaporkan ketika terjadi aksi bullying di ruang digital. Dan menerapi sasaran bullying ketika membutuhkan penyembuhan psikis secara khusus.

Etika di Internet

Literasi digital yang ini sama pentingnya. Penggunaan sama seperti di dunia nyata, di ruang maya pun perlu ada sopan santun. Perlu etika di media sosial maupun di internet (netiket). Nah sebelum mengunggah tulisan, komen, pikirkan matang-matang. Ingat semua data yang diunggah akan terekam dalam jejak digital. Pertimbangkan dan hindari ujaran kebencian dan hal yang berbau SARA. Netizen yang melanggar etika perlu mengingat dampak ketika hal yang tidak sepatutnya dituliskan atau diutarakan di ruang internet. Hal ini tidak tidak hanya orangtua, anak-anak, dan milenial pun perlu tahu ini.

Pelanggaran etika di internet bisa berupa plagiarisme, pelanggaran hak cipta, dan pembajakan buku. Plagiarisme berupa meng-copy konten tanpa izin atau tidak mencantumkan tautan sumber penulis/pengarang aslinya.

Tips Digital Literasi untuk Anak

Lakukan Simulasi Ini Tanpa Sepengetahuan Anak

Untuk mengetes apakah anak-anak Anda sudah mulai menyadari dan memahami literasi digital, orang tua bisa melakukan simulasi literasi digital, misalnya terkait informasi hoax.

Nah, coba sesekali cek mereka dengan akun anonim media sosial atau akun chat online seperti Discord untuk memastikan mereka mudah terperdaya atau tidak ketika berjumpa orang asing. Jika yang terjadi sebaliknya, maka edukasi literasi digital perlu lebih inten diberikan kepada anak-anak tanpa mengenal lelah.

  • Solusi Menggurangi Screen Time pada Anak

Screen time atau waktu bermain dengan gadget pada anak-anak jelas perlu dibatasi. Selain berisiko merusak mata, pengurangan screen time bisa menghindari anak kecanduan pada game online atau internet. Kecanduan game online berbahaya, karena berdampak pada psikologis anak, seperti tantrum, agresif, bisa antisosial di dunia nyata. 

Bagaimana pun semua kembali pada kontrol orang tua. Kontrol bisa dilakukan baik secara manual maupun lewat aplikasi parenting control, salah satunya Family Link. Hal ini penting diketahui orang tua untuk mengurangi screen time anak dan berapa lama anak beraktivitas dengan aneka aplikasi di handphone-nya.

Tips lainnya, memberi batas waktu screen time anak-anak dengan mengganti kegiatan aktivitas lainnya seperti bermain, tracking di alam bebas, pergi ke toko buku saat weekend, serta rutinkan mereka bertemu teman-teman sebaya di dunia nyata.

Umumnya literasi digital pada berbagai jenjang usia pengguna memang menghadapi banyak kendala. Maka kampanye dan kolaborasi orang tua, sekolah, dan negara dalam mengedukasi literasi digital seharusnya tidak sebatas bersifat momentum saja, namun menjadi isu dan aksi nyata sepanjang waktu. Simulasi yang dibuat dalam suasana belajar sembari bermain mungkin bisa menjadi media pengantar agar anak-anak bisa memiliki kemampuan soal literasi digital. Semoga.

Sumber:

Teachyourkidscode.com

kominfo.go.id

foto: unsplash.com

Post Author: adgroup