Jaringan Toko Buku Tradisional

Mungkin salah satu hal yang menyebabkan orang disebut sukses adalah ketika hobi menyatu dengan pekerjaan. Setidaknya ini yang dirasakan Arif Hisbulloh yang sudah 11 tahun bekerja di lingkungan Agromedia. “Karyawan ke-50!” ujarnya bangga.

“Saya buta Jakarta. Karena itu saya hanya dikasih modal sebuah peta Jakarta sama Pak Anton,” ujar pria yang akrab disapa Glandonk ini ketika ditanya soal kendala awal bergabung ke Agromedia. Lantas ia membuka obrolan tentang pengalamannya menjelajahi dunia pemasaran untuk buku-buku Agromedia. Glandonk sendiri termasuk orang yang suka jalan-jalan. Maka tak heran saat dirinya ditempatkan di lokasi yang sama sekali belum dikenalnya, ia malah girang bukan kepalang, “Karena saya ingin dan sukanya keliling-keliling. Ya, pas ditempatkan dimana saja, saya suka-suka saja”.

Akhir tahun 2004, ia mulai ditempatkan di Medan, Sumatera Utara, setelah sebelumnya berkeliling Jakarta selama 5 bulan. Diberikan kepercayaan untuk mengembangkan jaringan pemasaran Agromedia, Glandonk menjawabnya dengan sejumlah pencapaian.  Mulai dari pengembangan, perpustakaan, jaringan toko buku, hingga radio.

Menyinggung soal jaringan toko buku, Glandonk membeberkan secara rinci perbedaan cara memasarkan toko buku modern dan tradisional. Jika toko buku modern, biasanya semua data penjualan terkomputerisasi dengan baik. Sedangkan toko buku tradisional kebalikannya, yakni masih terdata secara manual, “Jadi kalau kita belanja minta kwitansi, mereka akan memberinya. Kalau kita enggak minta, ya enggak juga”.

[IMG]/images/arief_glandonk.jpg[/IMG]Lebih jauh Glandonk kemudian menceritakan tentang kondisi toko buku tradisional terutama sistem transaksinya yang agak rumit, “Adanya obrolan tentang penawaran, penagihan, dan sebagainya yang biasanya akan membuat keteteran sales baru”. Inilah salah satu alasan mengapa para sales baru biasanya akan ditempatkan untuk area toko buku besar dan modern seperti Gramedia, “Ini juga yang menjadi ciri khas Agromedia sampai sekarang,” tambahnya. Tantangan lain adalah membina toko-toko buku tradisional sehingga mengarah kepada toko buku yang tumbuh mengikuti perkembangan jaman. Salah satu toko tradisional di daerah Cipulir misalnya, Glandonk dan timnya memberi pengetahuan cara pengelolaan toko buku, mulai dari cara membuat laporan dengan MS Excel, laporan melalui E-mail, transfer setoran, dan sebagainya.

Toko-toko buku tradisional yang kini aktif menjadi klien Kelompok Agromedia sendiri berjumlah sekitar 650 toko yang tersebar di Jakarta, Medan, dan Malang. Dari jumlah tersebut 400 toko berbasis komisi aktif, yakni mereka akan mendapatkan fee sesuai buku-buku yang terjual. Sedangkan sisanya berbasis kredit aktif, yaitu pembayaran melalui sistem jatuh tempo.

Glandonk lalu membeberkan triknya mendekati calon klien, “Biasanya saya jalan-jalan dan lebih memilih penampilan santai untuk mendekati mereka dibanding harus beratribut seragam kantor.  Selain bisa menyegarkan suasana, calon klien juga akan merasa nyaman ngobrol dengan penawaran kita,” ucapnya. “Ya, sambil menyelam minum air lah,” tambahnya.

Karena memang hobinya jalan-jalan, Glandonk memberikan kesannya soal penempatan area kerjanya di daerah, “Tentu senang karena banyak teman baru, pengalaman baru, dan tentu ilmu baru”.  Moto hidupnya adalah work is my hobby, happy is my job.

Di akhir obrolan, Glandonk menceritakan harapan dan mimpinya di Agromedia. Ia berharap ada apresiasi perusahaan kepada karyawan yang berprestasi berupa hadiah umroh, “Kalau biasanya jalan-jalan. Mungkin ini agak berbeda. Ya, sebandel-bandelnya orang, pastilah punya harapan ke arah sana (Mekah –red). Karena ini akan memotivasi kita.” Pria asal Lamongan ini pun mengutarakan mimpi pribadinya ingin memiliki toko buku di kampung istrinya, “Ingin punya toko buku di Belitung”.