Efek internet dan media sosial sebagai “basis berdemokrasi” di ruangan online, menjadikan cara branding bisa menjadi usang. Pasalnya brand apa pun bisa dengan mudah dinilai oleh netizen secara mudah, bebas, dan transparan. Kini konsumen punya peran mempertimbangkan sebuah brand. Sebab saat ini konsumen sudah bosan jadi korban, dan ingin mendapatkan kebenaran.
Demikian sebagian pengantar dari Drs. Rudy Farid Sagir, Dosen Seni Rupa Universitas Widyatama, Bandung dalam paparan soal branding dalam Pelatihan Desain Komunikasi Visual di Kantor Penerbit Kelompok Agromedia, Selasa 6 Agustus 2019. Dalam kesempatan tersebut Rudi, memberikan tiga materi soal desain komunikasi visual, desain cover, dan branding.
Pola branding model top down, dari perusahaan ke konsumen perlu diubah dan dimodifikasi. Lini massa menjadi penting dan harus terus didengarkan oleh perusahaan-perusahaan sebelum dan sesudah meluncurkan produk-produk. Rekomendasi mulut ke mulut menjadi bagian penting pemasaran era zaman now.
Rudi menjelaskan brand di sini diartikan bukan sekadar logo. Namun citra dan nilai-nilai di balik sebuah perusahaan. Upaya membuat anggapan atau dicap di zaman now ini perlu jujur dan otentik. Sebab saat ini banyak pergeseran, seperti konsumen lebih fokus pada nilai-nilai, seperti kebebasan, berbagi, harmoni, dan status (pengakuan).
Sementara dalam membangun anggapan (branding) tidak melulu dengan pendekatan iklan. Orang lebih suka berpindah jika platform aplikasi sering terkena iklan. Inilah yang dinamakan unbranding. Rudi mencontohkan bagaimana brand Redbull mendorong event-event dan komunitas bergerak. Redbull sukses dengan cara ini.
Tulis Sebelum Mengeksekusi Sebuah Desain Sampul
Desain adalah salah satu keilmuan yang melibatkan kreativitas. Lewat design thinking dan kreativitas inilah yang membuat manusia ‘menang’ melawan artificial intelegence atau “mesin teknologi”. Inilah siasat masuk di tengah deru teknologi yang cepat sekali berubah. Maka memadukan kreativitas dan teknologi menjadi bagian dari langkah bekerja.
Nah, bicara soal desain komunikasi visual (DKV), sebenarnya tidak perlu terlalu memusingkan soal tren. DKV adalah cara menyampaikan pesan atau berkomunikasi ke audiens, ke pembaca sesuai target usia, kegemaran, dan lainnya dalam wujud visual.
Mengerucut ke wilayah desain kaver buku, Rudi mengingatkan kembali, cover buku adalah etalase isi buku, sebagai penyampai pesan dan perlu mendukung unsur mencolok, berbeda, dan mudah diterima. Cover buku pun perlu komunikatif, hal ini wajib.
Apa yang ingin disampaikan sederhana dan sesuai target audiens, serta kepatutan. Sebagai contoh akan tidak cocok jika desain untuk remaja disampaikan dalam versi desain untuk buku dewasa. Ia juga menambahkan trik membuat desain dengan dua rumus pilihan demontratif dan metafora.
Ia memberikan tip dalam berkolaborasi dengan “pasar”, seperti paduan 50 persen unsur kreatif dari desainer, 50 persen gunakan simbol-simbol yang sudah populer atau menancap di benak pembaca. Hal ini selain memungkinkan menghadirkan rasa sudah familiar, juga bisa menghasilkan efek aha moment.
Dosen yang suka menyelipkan humor ini, juga memaparkan kover harus ada kontras, simpel, jelas, dan menarik. Turunan dari konsep ini dieksekusi secara teknis lewat pemilihan gambar, huruf, warna, dan grafis.
Dalam pelatihan yang digelar di Sabutong tersebut, Rudi mengingatkan kembali pentingnya menuliskan konsep desain sebelum duduk mendesain di depan komputer. Hal ini sebagai upaya proses dalam pembuatan pesan yang ingin disampaikan desainer sampul merancang sampul.
Menciptakan desain cover buku yang disesuaikan memadukan kreativitas desainer dan selera pasar memang tidaklah mudah. Butuh banyak referensi, diskusi, dan belajar banyak hal. Inilah beberapa upaya belajar membuat desain cover yang mengena coba menyentuh ceruk pasar.
Seminar yang berlangsung kurang lebih tiga jam ini banyak memberikan wawasan bagi para desainer dan layouter buku. “Bagi saya temanya menarik, bermanfaat, dan memberikan inspirasi, “ ujar Agoy Tama dari mediakita.
Pelatihan internal yang diikuti oleh desainer cover, layouter, promosi online, dan para pekerja buku dari penerbit di Kelompok Agromedia ini dibuka oleh Jeffri Fernando Tjio, Direktur Gagas Media Group.